Kamis, 20 Juni 2013

Sudahi Saja, Aku Cukup Tahu

Diposting oleh Unknown di 07.35
Selamat malam pembaca, maaf aku baru muncul ke permukaan karena aku sudah tidak berlangganan modem lagi :( anyway ga berlangganan modem bukan jadi masalahku untuk berhenti bloging, dan saat ini aku sedang blogin via ponsel.
Kali ini aku mau bagi pengalamanku tentang teman yang dikasih ati ngerogoh rempelo atau bahasa indonesianya teman yang tidak tahu diri. Dikatakan seperti itu karena dia memang pada akhirnya merugikanku, bukan maksudku untuk menjelek-jelekkan temanku ini, tapi aku hanya ingin berbagi pengalaman dan agar pembaca berhati-hati jika menemui orang yang ciri-cirinya akan aku bahas di curhatan kali ini.
Dia adalah temanku satu sekolah waktu sekolah menengah pertama. Pada saat sekolah dulu, kami sangat tidak akrab. Aku mengetaui dia atau sekedar mengenalnya karena kita dulu mengikuti ekstrakurikuler yang sama, yaitu teater. Pada saat di teater pun, kami sangat tidak akrab, bahkan aku sempat tidak suka dengannya. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun. Sekitar hampir lima tahun lamanya kami tidak pernah berkomunikasi, hingga suatu hari, kami dipertemukan kembali oleh jejaring sosial yang sangat digemari para remaja kota besar saat ini, twitter.
Aku memiliki akun twitter pada 25 Januari 2011, dan tidak lama setelah itu aku dan dia saling mengikuti satu sama lain, tetapi kami tidak pernah berkomunikasi, jadi dia dapat dikatakan follower pasif. Hingga sekitar Januari 2013 lalu, dia mengomentari statusku, lalu aku menanggapi komentarnya dan sebaliknya, terus menerus kita berbalas balasan hingga akhirnya menimbulkan canda tawa, dan sampai akhirnya dia mengajakku ketemuan. Aku pun pada saat itu menganggap ajakannya adalah sebuah pertemuan teman lama dan mungkin dia bisa menjadi teman dekatku yang baru, pikirku sat itu. 
Dia mengajakku ketemuan di salah satu mall di Surabaya. Dan aku sempat menanyakan padanya via SMS, "kamu ato aku yang jemput?" Dan dia pun membalas pesanku, "kamu aja ya, hehehe". Ada perasaan tak enak saat itu, tapi aku mencoba berusaha untuk berpikir positif. Akhirnya sesuai hari dan jam yang ditentukan, aku menjemputnya, kami pergi ke mall dan aku mengantarnya pulang. So far dia anaknya baik, asik, enak diajak curhat dan bercanda, sikapnya masuk dalam kriteria teman dekatku.
Setelah hangout kami yang pertama, dia terus menerus mengajakku pergi menemaninya atau aku lebih suka mengatakan dia mengajakku untuk mengantarkannya ke tempat-tempat yang dia inginkan, hingga suatu hari setelah kami terus menerus keluar bersama dan selalu aku yang menjemputnya dan memboncengnya, mamaku bertanya, "kamu keluar sama dia terus, jemput dia terus, kamu dikasih apa sama dia?" Dan aku pun menjawab apa adanya,"ya ga dikasih apa-apa ma." Setelah pertanyaan mamaku tersebut aku menjadi sadar bahwa aku merasa dimanfaatkan olehnya, aku merasa menjadi supirnya yang selalu menjemputnya dan mengantarkan ke tempat yang dia inginnkan, kenapa setelah empat bulan aku baru sadar bahwa aku sangat bodoh selalu mau menurutinya, hingga suatu ketika aku tidak sengaja membuat tweet yang berbunyi:"serasa jadi supir sih". Keesokan harinya dia langsung mengirim pesan padaku yang isinya meminta maaf kalau aku merasa seakan menjadi supir. Aku pun jujur kepada dia bahwa memang aku sangat merasa seperti supirnya, dia menggantikanku memboceng saja tidak pernah, berinisiatif membelikan bensin meskipun aku tidak meminta saja dia tidak pernah, apalagi namanya kalau bukan supir. Dan aku sempat tersinggung oleh pesannya yang berbunyi:"iyo mit sepurane lek awakmu ngeroso koyok supir, sepurane aku ga sesogeh awakmu." Kenapa dia harus membahas harta? Apa hubungannya harta dengan semua ini? Toh yang memiliki harta adalah orang tuaku, sedangkan aku tidak memiliki apa-apa. Dan kalimat terakhirku untuk dia,"terima kasih telah menjadi teman dekatku walau hanya sesaat, terima kasih telah pernah berbagi tawa bersamaku, maaf hubungan pertemanan kita tidak bisa diteruskan, sudah cukup." Dan sampai saat ini sejak bulan April kemarin, aku tidak pernah berkomunikasi dengannya dan aku sangat tidak ingin menemuinya lagi.
Terima kasih kepada pembaca yang telah meluangkan waktunya untuk membaca curhatanku ini. Selamat malam :)

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Hai Mitha senasib ya kita, bedanya kl gw tahunan Mit, tp skrg pas udah jd emak2 gw udah pensiun jd supir, alhamdulilah akhirnya... sama Mit gw jg males hub sama salah satu dr mereka yg merasa selalu benar, gak pernah inget kebaikan orang, dan marah2 kalau disindir, say goodbye aja sama orang gak tau diri... well at least nice to find your blog :)

Posting Komentar

Kamis, 20 Juni 2013

Sudahi Saja, Aku Cukup Tahu

Selamat malam pembaca, maaf aku baru muncul ke permukaan karena aku sudah tidak berlangganan modem lagi :( anyway ga berlangganan modem bukan jadi masalahku untuk berhenti bloging, dan saat ini aku sedang blogin via ponsel.
Kali ini aku mau bagi pengalamanku tentang teman yang dikasih ati ngerogoh rempelo atau bahasa indonesianya teman yang tidak tahu diri. Dikatakan seperti itu karena dia memang pada akhirnya merugikanku, bukan maksudku untuk menjelek-jelekkan temanku ini, tapi aku hanya ingin berbagi pengalaman dan agar pembaca berhati-hati jika menemui orang yang ciri-cirinya akan aku bahas di curhatan kali ini.
Dia adalah temanku satu sekolah waktu sekolah menengah pertama. Pada saat sekolah dulu, kami sangat tidak akrab. Aku mengetaui dia atau sekedar mengenalnya karena kita dulu mengikuti ekstrakurikuler yang sama, yaitu teater. Pada saat di teater pun, kami sangat tidak akrab, bahkan aku sempat tidak suka dengannya. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun. Sekitar hampir lima tahun lamanya kami tidak pernah berkomunikasi, hingga suatu hari, kami dipertemukan kembali oleh jejaring sosial yang sangat digemari para remaja kota besar saat ini, twitter.
Aku memiliki akun twitter pada 25 Januari 2011, dan tidak lama setelah itu aku dan dia saling mengikuti satu sama lain, tetapi kami tidak pernah berkomunikasi, jadi dia dapat dikatakan follower pasif. Hingga sekitar Januari 2013 lalu, dia mengomentari statusku, lalu aku menanggapi komentarnya dan sebaliknya, terus menerus kita berbalas balasan hingga akhirnya menimbulkan canda tawa, dan sampai akhirnya dia mengajakku ketemuan. Aku pun pada saat itu menganggap ajakannya adalah sebuah pertemuan teman lama dan mungkin dia bisa menjadi teman dekatku yang baru, pikirku sat itu. 
Dia mengajakku ketemuan di salah satu mall di Surabaya. Dan aku sempat menanyakan padanya via SMS, "kamu ato aku yang jemput?" Dan dia pun membalas pesanku, "kamu aja ya, hehehe". Ada perasaan tak enak saat itu, tapi aku mencoba berusaha untuk berpikir positif. Akhirnya sesuai hari dan jam yang ditentukan, aku menjemputnya, kami pergi ke mall dan aku mengantarnya pulang. So far dia anaknya baik, asik, enak diajak curhat dan bercanda, sikapnya masuk dalam kriteria teman dekatku.
Setelah hangout kami yang pertama, dia terus menerus mengajakku pergi menemaninya atau aku lebih suka mengatakan dia mengajakku untuk mengantarkannya ke tempat-tempat yang dia inginkan, hingga suatu hari setelah kami terus menerus keluar bersama dan selalu aku yang menjemputnya dan memboncengnya, mamaku bertanya, "kamu keluar sama dia terus, jemput dia terus, kamu dikasih apa sama dia?" Dan aku pun menjawab apa adanya,"ya ga dikasih apa-apa ma." Setelah pertanyaan mamaku tersebut aku menjadi sadar bahwa aku merasa dimanfaatkan olehnya, aku merasa menjadi supirnya yang selalu menjemputnya dan mengantarkan ke tempat yang dia inginnkan, kenapa setelah empat bulan aku baru sadar bahwa aku sangat bodoh selalu mau menurutinya, hingga suatu ketika aku tidak sengaja membuat tweet yang berbunyi:"serasa jadi supir sih". Keesokan harinya dia langsung mengirim pesan padaku yang isinya meminta maaf kalau aku merasa seakan menjadi supir. Aku pun jujur kepada dia bahwa memang aku sangat merasa seperti supirnya, dia menggantikanku memboceng saja tidak pernah, berinisiatif membelikan bensin meskipun aku tidak meminta saja dia tidak pernah, apalagi namanya kalau bukan supir. Dan aku sempat tersinggung oleh pesannya yang berbunyi:"iyo mit sepurane lek awakmu ngeroso koyok supir, sepurane aku ga sesogeh awakmu." Kenapa dia harus membahas harta? Apa hubungannya harta dengan semua ini? Toh yang memiliki harta adalah orang tuaku, sedangkan aku tidak memiliki apa-apa. Dan kalimat terakhirku untuk dia,"terima kasih telah menjadi teman dekatku walau hanya sesaat, terima kasih telah pernah berbagi tawa bersamaku, maaf hubungan pertemanan kita tidak bisa diteruskan, sudah cukup." Dan sampai saat ini sejak bulan April kemarin, aku tidak pernah berkomunikasi dengannya dan aku sangat tidak ingin menemuinya lagi.
Terima kasih kepada pembaca yang telah meluangkan waktunya untuk membaca curhatanku ini. Selamat malam :)

1 komentar:

  1. Hai Mitha senasib ya kita, bedanya kl gw tahunan Mit, tp skrg pas udah jd emak2 gw udah pensiun jd supir, alhamdulilah akhirnya... sama Mit gw jg males hub sama salah satu dr mereka yg merasa selalu benar, gak pernah inget kebaikan orang, dan marah2 kalau disindir, say goodbye aja sama orang gak tau diri... well at least nice to find your blog :)

    BalasHapus

Kamis, 20 Juni 2013

Sudahi Saja, Aku Cukup Tahu

Selamat malam pembaca, maaf aku baru muncul ke permukaan karena aku sudah tidak berlangganan modem lagi :( anyway ga berlangganan modem bukan jadi masalahku untuk berhenti bloging, dan saat ini aku sedang blogin via ponsel.
Kali ini aku mau bagi pengalamanku tentang teman yang dikasih ati ngerogoh rempelo atau bahasa indonesianya teman yang tidak tahu diri. Dikatakan seperti itu karena dia memang pada akhirnya merugikanku, bukan maksudku untuk menjelek-jelekkan temanku ini, tapi aku hanya ingin berbagi pengalaman dan agar pembaca berhati-hati jika menemui orang yang ciri-cirinya akan aku bahas di curhatan kali ini.
Dia adalah temanku satu sekolah waktu sekolah menengah pertama. Pada saat sekolah dulu, kami sangat tidak akrab. Aku mengetaui dia atau sekedar mengenalnya karena kita dulu mengikuti ekstrakurikuler yang sama, yaitu teater. Pada saat di teater pun, kami sangat tidak akrab, bahkan aku sempat tidak suka dengannya. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun. Sekitar hampir lima tahun lamanya kami tidak pernah berkomunikasi, hingga suatu hari, kami dipertemukan kembali oleh jejaring sosial yang sangat digemari para remaja kota besar saat ini, twitter.
Aku memiliki akun twitter pada 25 Januari 2011, dan tidak lama setelah itu aku dan dia saling mengikuti satu sama lain, tetapi kami tidak pernah berkomunikasi, jadi dia dapat dikatakan follower pasif. Hingga sekitar Januari 2013 lalu, dia mengomentari statusku, lalu aku menanggapi komentarnya dan sebaliknya, terus menerus kita berbalas balasan hingga akhirnya menimbulkan canda tawa, dan sampai akhirnya dia mengajakku ketemuan. Aku pun pada saat itu menganggap ajakannya adalah sebuah pertemuan teman lama dan mungkin dia bisa menjadi teman dekatku yang baru, pikirku sat itu. 
Dia mengajakku ketemuan di salah satu mall di Surabaya. Dan aku sempat menanyakan padanya via SMS, "kamu ato aku yang jemput?" Dan dia pun membalas pesanku, "kamu aja ya, hehehe". Ada perasaan tak enak saat itu, tapi aku mencoba berusaha untuk berpikir positif. Akhirnya sesuai hari dan jam yang ditentukan, aku menjemputnya, kami pergi ke mall dan aku mengantarnya pulang. So far dia anaknya baik, asik, enak diajak curhat dan bercanda, sikapnya masuk dalam kriteria teman dekatku.
Setelah hangout kami yang pertama, dia terus menerus mengajakku pergi menemaninya atau aku lebih suka mengatakan dia mengajakku untuk mengantarkannya ke tempat-tempat yang dia inginkan, hingga suatu hari setelah kami terus menerus keluar bersama dan selalu aku yang menjemputnya dan memboncengnya, mamaku bertanya, "kamu keluar sama dia terus, jemput dia terus, kamu dikasih apa sama dia?" Dan aku pun menjawab apa adanya,"ya ga dikasih apa-apa ma." Setelah pertanyaan mamaku tersebut aku menjadi sadar bahwa aku merasa dimanfaatkan olehnya, aku merasa menjadi supirnya yang selalu menjemputnya dan mengantarkan ke tempat yang dia inginnkan, kenapa setelah empat bulan aku baru sadar bahwa aku sangat bodoh selalu mau menurutinya, hingga suatu ketika aku tidak sengaja membuat tweet yang berbunyi:"serasa jadi supir sih". Keesokan harinya dia langsung mengirim pesan padaku yang isinya meminta maaf kalau aku merasa seakan menjadi supir. Aku pun jujur kepada dia bahwa memang aku sangat merasa seperti supirnya, dia menggantikanku memboceng saja tidak pernah, berinisiatif membelikan bensin meskipun aku tidak meminta saja dia tidak pernah, apalagi namanya kalau bukan supir. Dan aku sempat tersinggung oleh pesannya yang berbunyi:"iyo mit sepurane lek awakmu ngeroso koyok supir, sepurane aku ga sesogeh awakmu." Kenapa dia harus membahas harta? Apa hubungannya harta dengan semua ini? Toh yang memiliki harta adalah orang tuaku, sedangkan aku tidak memiliki apa-apa. Dan kalimat terakhirku untuk dia,"terima kasih telah menjadi teman dekatku walau hanya sesaat, terima kasih telah pernah berbagi tawa bersamaku, maaf hubungan pertemanan kita tidak bisa diteruskan, sudah cukup." Dan sampai saat ini sejak bulan April kemarin, aku tidak pernah berkomunikasi dengannya dan aku sangat tidak ingin menemuinya lagi.
Terima kasih kepada pembaca yang telah meluangkan waktunya untuk membaca curhatanku ini. Selamat malam :)

1 komentar:

  1. Hai Mitha senasib ya kita, bedanya kl gw tahunan Mit, tp skrg pas udah jd emak2 gw udah pensiun jd supir, alhamdulilah akhirnya... sama Mit gw jg males hub sama salah satu dr mereka yg merasa selalu benar, gak pernah inget kebaikan orang, dan marah2 kalau disindir, say goodbye aja sama orang gak tau diri... well at least nice to find your blog :)

    BalasHapus

 

My Name is Mitha. Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea